Pages

Sabtu, 14 Desember 2013

7 Langkah Jitu Membuat Terjemahan Berkualitas



Menerjemahkan secara sederhana dapat diartikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua, mengungkapkan gaya bahasanya.
H. G de Maar, dalam bukunya English Passage for Translation, Jilid II, halaman 176, memberikan petunjuk dalam menerjemahkan sebagai berikut:
  1. 1. Berlakulah setia pada naskah aslinya dan berikanlah kebenaran, seluruh kebenaran, dan tak lain daripada kebenaran. Tidak boleh ada ide penting yang muncul dalam terjemahan kalau ide tersebut tidak ada pada naskah aslinya. Tidak boleh ada hal-hal kecil tetapi penting, dihilangkan dari terjemahan kalau hal tersebut terdapat dalam karangan aslinya.
  2. 2. Perhatikanlah secara seksama, dalam semangat atau suasana apa karangan asli ditulis. Kalau gayanya ramah, ramahlah dalam terjemahan Anda; kalau luhur, berikanlah pada terjemahan Anda suatu nada yang luhur.
  3. 3. Sebuah terjemahan harus tidak terbaca sebagai terjemahan. Terjemahan harus tidak mengingatkan pada karangan aslinya, tetapi harus terbaca wajar seolah-olah muncul langsung dari pikiran si penterjemah. Harus terbaca sebagai sebuah karangan yang asli.
  4. 4. Terjemahan harus mengungkapkan segenap arti dari karangan aslinya tanpa mengorbankan tuntutan akan ungkapan yang baik dan idiomatis.

Lebih lanjut, menurut de Maar, dalam menerjemahkan terdapat beberapa tahap penting yaitu:
  • - Membaca dan mengerti karangan itu;
  • - Menyerap segenap isinya dan membuatnya menjadi kepunyaan kita.
  • - Mengungkapkannya dalam langgam bahasa kita dengan kemungkinan perubahan sekecil-kecilnya akan arti atau nadanya.
Sedangkan Dr. Ronald H. Bathgate, dalam karangannya berjudul “A Survey of Translation Theory,” mengemukakan tujuh langkah atau bagian integral dari proses penerjemahan, yaitu:
  1. 1. Tuning (Penjajakan)
    Tuning atau penjajakan merupakan langkah untuk menjajaki atau menyelaraskan bahan yang akan kita terjemahkan dengan bahasa sasaran. Penyelarasan ini maksudnya adalah dalam konteks makna dan gaya bahasanya. Dalam tahap ini, diharapan agar penerjemah sudah mendapatkan gambaran pilihan kata atau susunan frase dan kalimat yang selaras dengan bahasa naskah aslinya. Setelah mendapatkan gambaran tersebut, seorang penerjemah kemudian melanjutkan pada tahap berikutnya, yaitu penguraian (analysis).
    Dalam tahap ini, Bathgate memaparkan juga model-model penerjemahan untuk menghasilkan terjemahan yang lebih efektif dan baik secara makna dan gaya bahasanya. Model-model yang disatukannya sebagai Model Operasional dalam tahap penjajakan ini, adalah meliputi:
    • a. Model Hermeneutik
      Hermeneutik adalah teori atau ilmu penafsiran lambang/nas, misalnya lambang atau naskah yang terdapat dalam Kitab Suci. Menurut model ini hal yang dilakukan oleh seorang penerjemah dalam proses penerjemahan adalah: 1) percaya bahwa amanat dari naskah asli layak untuk disampaikan; 2) mendalami atau meresapi maknanya; 3) menyajikan dalam bahasa penerima yang berkepentingan; dan 4) menyelaraskan pernyataan amanat dalam bahasa penerima itu dengan daya tangkap penerima atau dengan situasi penyampaian amanat itu. Model ini mengedepankan pandangan penerjemah bahwa penerjemahan naskah asli tersebut memang layak untuk dilakukan, sehingga penerjemah akan membaca naskah tersebut dengan penuh perhatian dan akan menerjemahkan dengan setia kepada makna dan gaya bahasa aslinya.
    • b. Model Situasional
      Memaknai sesuatu ujaran dalam bahasa asli harus disesuaikan dengan situasi dimana, kapan dan keadaan lainnya saat ujaran itu diungkapkan. Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam memaknai secara selaras ujaran tersebut, menurut model ini, adalah:
      • - Orang mungkin ingin menunjukkan adanya sesuatu, tidak lebih.
      • - Orang sekedar melukiskan sesuatu itu.
      • - Orang mengungkapkan secara hidup agar berkesan pada pembaca.
      • - Atau ingin mempengaruhi atau mendorong pembaca untuk berbuat.
      • - Atau menata bagaimana menghadapi sesuatu untuk menguasainya.
      • - Atau bertujuan untuk mencapai maksud-maksud tertentu.
      • - Atau sekedar melampiaskan perasaan sehingga orang merasa tidak harus berbuat apa-apa mengenai hal tersebut.
    • c. Model stilistik
      Model penerjemahan ini adalah penjajakan terhadap gaya ungkap atau gaya bahasa yang digunakan dalam naskah aslinya. Model ini menekankan pendekatan penyesuaian naskah asli dengan tuntutan-tuntutan bahasa sasaran. Baik secara bentuk, isi atau gaya bahasa yang akan digunakan dalam hasil terjemahan dalam bahasa sasaran nantinya.
  2. 2. Analysis (Penguraian) Dalam tahap ini, seorang penerjemah harus menguraikan tiap-tiap kalimat dalam bahasa sumbernya ke dalam satuan-satuan berupa kata-kata atau frase-frase. Kemudian menentukan hubungan sintaksis antara berbagai unsur kalimat tersebut. Penerjemah, dalam tahap ini, juga harus dapat meliat hubungan antara unsur-unsur dalam bagian teks agar dapat menentukan konsistensi dalam terjemahannya. Konsistensi dalam pemahaman dan peristilahan akan memudahkan terjemahan untuk dapat dipahami. Dalam tahap ini, model-model penerjemahan yang akan digunakan, adalah:
    • a. Model kata-demi-kata Model kata-demi-kata, oleh Larson dan Smalley disebut glossing atau interlinear translation, dan oleh Bathgate sendiri disebut juga sebagai literal translation. Dalam menguraikan bahasa sumber, hal yang dilakukan untuk memperoleh keselarasan makna dengan bahasa terjemahan, pertama-tama adalah mengulas kata demi kata, frase demi frase, klausa demi klausa, kalimat demi kalimat, dan alinea demi alinea. Disini, penerjemah mencari makna equivalen kata satu persatu. Model ini menekankan bahwa seorang penerjemah yang baik harus mempunyai kepekaan terhadap arti tiap kata sehingga dapat menerjemahkan makna naskah asli kedalam bahasa sasaran dengan pilihan kata setepat-tepatnya pula.
    • b. Sintaktik
      Model ini berfokus pada penguraian dengan pemahaman terhadap struktur kalimat. Beberapa kalimat panjang dan memiliki struktur yang rumit sebaiknya diuraikan terlebih dahulu dengan cara menemukan unsur-unsur pembentuk kalimatnya untuk dapat lebih memahami maknanya dan mempermudah penyesuaian bahasa dengan terjemahannya dalam bahasa sasaran.
    • c. Transformasional
      Dalam model ini, penerjemah ditekankan untuk memiliki kemampuan untuk mengubah struktur kalimat rumit ke dalam bentuk yang lebih mudah dipahami. Tidak jarang, penerjemah harus menyusun sebuah kalimat panjang dalam bahasa sasaran untuk mempermudah pemahaman hasil terjemahan tanpa mengurangi makna yang tersirat dalam naskah aslinya. Atau, terkadang pula, penerjemah harus memecah-mecah kalimat yang rumit dalam bahasa sumber menjadi kernel sentences (kalimat-kalimat inti), menjadi kalimat-kalimat tunggal sederhana dimana hanya terdapat satu subjek, satu predikat dan satu objek. Kemudian, kernel sentences tersebut ditransfer ke dalam bahasa sasaran dengan sesedikit mungkin pemincangan arti dan konotasi.
  3. 3. Understanding (Pemahaman) Dalam tahap ini seorang penerjemah diharapkan agar:
    • - Memahami isi bahan yang akan diterjemahkan.
    • - Menangkap gagasan-gagasan utama dalam tiap paragraph dan ide-ide pendukung dan pengembangnya; ia harus menangkap hubungan gagasan satu sama lain dalam tiap paragraph dan antarparagraph.
    • - Penerjemah yang ideal adalah penerjemah yang sebidang ilmu dengan pengarang karangan yang akan diterjemahkan, atau sekurang-kurangnya harus mempunyai pengetahuan umum yang memadai.
    • Model-model penerjemahan dalam tahap ini, adalah:
      • a. Model Interlingua Model ini meminta adanya suatu bahasa lain di luar bahasa sumber dan bahasa sasaran untuk menjadi pendukung kedekatan suatu arti/makna antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Adakalanya beberapa kata dalam bahasa sumber, dalam bahasa sasarannya tidak mempunyai istilah kata yang tepat dan memiliki kedekatan makna. Oleh karena itu penerjemah menerapkan model ini untuk menemukan kata yang memiliki makna yang lebih dekat atau sesuai dengan yang dimaksudkan di dalam bahasa sumber.
      • b. Model Semantik Model ini menekankan pada pemilihan penggunaan kata yang sesuai dengan apa yang dilambangkannya karena satu kata dalam bahasa apapun, pada umumnya tidak hanya melambangkan satu hal tertentu saja. Dalam hal ini, penerjemah harus memahami kata-kata dalam bahasa sumber sesuai dengan apa yang dilambangkannya, lalu mengungkapkan dengan gagasan yang sama pula dalam bahasa sasaran. Kesalahan dalam pengacuan terhadap lambang, situasi, benda atau proses yang dimaksudkan dalam bahasa sumber, dapat mengakibatan pelencengan makna.
      • c. Model Teori-Informasi Dala model ini dikemukakan pentingnya redundancy atau informasi berlebih agar suatu pesan dapat dipahami dengan lebih jelas dan disampaikan dengan gaya bahasa yang sesuai dengan tingkat pemahaman penerima dalam bahasa sasaran.
  4. 4. Terminology (Peristilahan) Dalam tahap ini, penerjemah memikirkan pengungkapan terjemahan ke dalam bahasa sasaran. Terutama berfokus pada menemukan istilah-istilah, ungkapan-ungkapan yang tepat, cermat dan selaras dalam bahasa sasaran. Kata yang penerjemah gunakan jangan sampai menyesatkan, menertawakan atau menyinggung perasaan pengguna bahasa sasaran. Penerjemahan dalam tahap ini dilakukan dengan model penerjemahan nomenklatif. Model penerjemahan nomenklatif ini menekankan agar seorang penerjemah menggunakan istilah-istilah teknis yang sesuai dengan istilah-istilah yang digunakan dalam cabang ilmu tertentu. Misalnya dalam bidang psikologi, seorang penerjemah harus menerjemahkan istilah-istilah tertentu dengan padanan istilah tersebut dalam bahasa sasaran. Penerjemah dapat menggunakan acuan lain seperti kamus istilah, jika belum mengetahui istilah yang tepat dalam bahasa sasaran. Jika penerjemah menemukan istilah yang tidak teknis, maka ia dapat menerjemahkannya saja secara harafiah.
  5. 5. Restructuring(Perakitan) Dalam tahap ini, penerjemah menyusun kembali semua yang sudah dirancangkan, disesuaikan, dan diselaraskan dengan bahasa sasaran. Penerjemah diharapkan untuk mengikuti gaya bahasa pengarang. Jika pengarang dalam karangan aslinya menggunakan gaya realis, maka penerjemah harus mengunakan gaya realis dalam terjemahannya. Kesesuaian gaya ini sangat berpengaruh terhadap mutu terjemahannya. Dalam tahap ini, model-model penerjemahan yang digunakan antara lain:
    • a. Model Modulasi Model modulasi adalah penggunaan ungkapan-ungkapan yang berbeda dalam bahasa sasaran, namun memiliki pengertian yang sama dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa sumber. Model ini timbul dari kebutuhan untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang berbeda-beda dalam bahasa yang berbeda-beda. Misalnya, dalam bahasa Inggris “It is raining cats and dogs” memiliki terjemahan yang tepat dalam bahasa indonesia sebagai “Hujan seperti dicurahkan dari langit.” Penerjemah perlu melengkapi diri dengan kamus idiom atau kamus ungkapan, misalnya American Idioms Dictionary, yang disusun oleh Oemar Ali, atau kamus idiom lainnya.
    • b. Model Generatif Model generatif dalam penerjemahan adalah penggunaan pola yang berbeda dalam struktur kalimat namun dengan kesamaan makna. Model ini diperlukan karena banyaknya pola kalimat yang tidak sama antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Misalnya, kalimat “Those French cigarettes make a terrible smell”. Bila kita memutuskan smell (bau) menjadi subjek kalimat, maka akan dihasilkan terjemahan: “Bau rokok Prancis itu amat tidak enak.” Namun, jika kita memutuskan untuk memulai terjemahan dengan French cigarettes (rokok Prancis) maka terjemahan yang dihasilkan: “Rokok Prancis itu amat tidak enak baunya” atau “Rokok Prancis itu mengeluarkan bau yang sangat tidak enak.” Dalam penerjemahan dengan model generatif ini, penerjemah diharuskan untuk memiliki kemampuan untuk menyusun kalimat bermakna sama dalam berbagai bentuk.
    • c. Model Integral Model ini muncul dari kebutuhan akan strategi penerjemahan yang menyeluruh untuk menjamin terjaganya konsistensi dan keindahan dalam produk fase perakitan ini. Model ini terutama diperlukan bila hendak menerjemahkan teks yang canggih, seperti sajak-sajak atau puisi. Kesesuaian bentuk dan rima dalam bahasa sumber harus terjaga konsistensinya dengan yang terdapat dalam bahasa sasaran.
  6. 6. Checking (Pengecekan) Dalam tahap ini, penerjemah memeriksa kembali hasil terjemahan pertama dalam draft pertama. Penerjemah menandai kesalahan-kesalahan pada bagian-bagian terjemahan. Kesalahan dalam penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan susunan-susunan kalimatnya untuk menghasilkan kalimat yang efektif. Dalam mengecek terjemahan ada dua model penerjemahan yang dianjurkan, yaitu model normatif dan model pengecekan tiga-tahap. Pengecekan, sesuai dengan tujuannya untuk menilai baik tidaknya terjemahan, dilakukan sesuai dengan petunjuk-petunjuk penerjemahan (normatif). Pengecekan tiga-tahap dilakukan dengan, pertama-tama menilai apakah terjemahan lurus sudah menyampaikan makna yang dimaksudkan. Jika belum, maka diperlukan penciptaan bentuk lain yang meskipun menyimpang dari bentuk aslinya tapi mendukung makna yang dimaksudkan. Kemudian bentuk baru tersebut dicek kembali, apakah sudah sesuai dengan situasinya.
  7. 7. Discussion (Pembicaraan) Dalam tahap akhir dari penerjemahan naskah ini, penerjemah mendiskusikan dengan orang lain mengenai hasil terjemahan. Baik menyangkut isi maupun menyangkut bahasa terjemahannya. Dalam hal ini, disarankan untuk tidak melibatkan terlalu banyak orang. Cukup beberapa orang yang berkompeten saja, untuk menghindari perusakan dengan terlalu banyak masukan yang membuat bingung. Tahap ini sebaiknya dilakukan dengan model interaktif. Dalam perbincangan interaktif, penerjemah dan pihak lain yang disebut sebagai penasehat yang ahli di bidang yang bersangkutan, saling bertukar informasi demi memperkecil kemungkinan adanya penyelewengan arti dalam hasil terjemahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar